Menurut Dwi Purnomo, Technical Service Area Banyumas PT Suri Tani Pemuka, kunci dari keberhasilan sistem ini adalah kestabilan pH(keasaman) dan eksistensi bakteri pengurai bahan organik yang sekaligus membentuk flok. “Kalau memilih sistem bakteri, maka tidak lagi boleh ada plankton dalam air, juga sebaliknya. Sebab pembentukan flok akan terganggu dengan adanya plankton dalam air,” tuturnya.
Sayang, karena konstruksi kolam lele yang rata-rata tidak tertutup/tidak beratap maka pada musim hujan kemasukan air hujan sehingga terjadi perubahan komposisi kimiawi maupun biologi air, plankton biasanya akan tumbuh. “Walaupun begitu, sistem ini tetap efektif asal persiapan air pada awal periode pemeliharaan sudah benar,” tegasnya.
Tingkat keamanan close system dan flok pada budidaya lele ini, kata Dwi Purnomo, akan sempurna jika benih yang digunakan hasil pembenihan sendiri. Sebab benih merupakan faktor resiko terbesar pembawa penyakit ke dalam kolam selain air. “Bibit dari luar, apalagi dari pasar yang tidak jelas asal-usul dan riwayat manajemen pembenihannya berisiko besar membawa penyakit,”tandasnya.
Manajemen Air
Menurut Suminto, pelopor budidaya lele dumbo di Pokdakan dan UPR (Unit Perbenihan Rakyat) yang terletak di Mandiraja, Banjarnegara, Jawa Tengah, agar air baru memenuhi syarat untuk budidaya sistem tertutup, harus ditumbuhkan pakan alaminya.“Pakan alami berupa daphnia. Selain itu juga harus tumbuh bakteri yang nantinya saat budidaya berjalan akan menghasilkan flok. Flok ini juga pakan alami,” terangnya. Flok pada lele ini, meskipun belum serumit dan sebagus pada budidaya udang, menurut pengalaman Suminto cukup untuk menurunkan FCR (konversi pakan) sebesar 0,2 bahkan lebih.
Untuk petakan kolam 3x5x0,5 m3 Suminto memasukkan 10 kg kompos dalam karung ke dalam air kolam. Setelah itu, air diberi larutan campuran probiotik 5 ml/m3 dan tetes tebu (molasses) 200 g/m3. Setelah itu air didiamkan minimal selama 1 pekan, sampai timbul kutu air (daphnia). Daphnia menjadi pakan alami benih yang akan ditebar. “Populasi daphnia biasanya mencapai puncaknya pada umur 15 hari setelah air diolah. Mereka muncul begitu saja,” jelas pembudidaya yang mengantongi banyak sertifikat pelatihan dari Kemnterian Kelautan dan Perinanan ini.
Menurut Suminto, air bekas kolam yang telah dipakai pada budidaya periode sebelumnya, harus melalui perlakuan yang hampir sama agar bisa dipergunakan kembali. Selain untuk menekan risiko akibat residu maupun patogen, juga untuk memulihkan nutrisi alami dan keseimbangan mikroorganisme yang ada didalam air itu. Bedanya, kata Suminto, pada air bekas ini tidak perlu diberi kompos lagi. Sedangkan dosis larutan probiotik dan molasses sama persis.
Suminto menyatakan, selain ditandai munculnya daphnia, air sudah ‘jadi’ dan siap ditebari benih jika air kolam warnanya hitam kecoklatan. Namun jika air diambil dengan gelas tetap terlihat jernih. Begitu ikan/benih ikan dimasukkan ke kolam akan muncul ‘kabluk’ (endapan halus) dari dasar kolam. Kabluk yang sebenarnya adalah tanda flok mulai terbentuk ini akan terus teraduk sesuai dengan pergerakan aktif ikan. “Maka kepadatan kolam dibuat lebih tinggi agar flok ini terus teraduk,” katanya.
Semakin bertambah umur penebaran air akan berubah menjadi coklat kekuningan, dan lama kelamaan akan menjadi kemerahan. “Itu tanda flok sudah jadi,”tegas Minto. Teknis perlakuan air ini bisa untuk pembesaran benih maupun pembesaran lele konsumsi.
Dwi Purnomo menyatakan, selanjutnya untuk menjaga populasi bakteri, dibuat tabung konservasi di dalam kolam. “Intinya supaya ada bagian dari kolam yang tidak terjamah ikan. Di situ akan jadi reservoir bakteri yang dibutuhkan oleh sistem ini,”terangnya. Tabung itu bisa dibuat dari gorong-gorong berdiameter 40 – 50 cm dengan panjang melebihi tinggi air kolam. Tabung diletakkan vertikal dan ujung lubang bagian atas yang berada di atas permukaan air ditutup.
No comments:
Post a Comment